Seiring lebih bertambah banyaknya “daftar saya” pada list di Netflix ketimbang film yang selesai ditonton, akhirnya aku pun mulai melakukan maraton fim meskipun akhirnya dua film saja terlahap di hari Minggu ini. Salah satunya The Truman Show (1988).
The Truman Show mengisahkan seorang pria bernama Truman Burbank yang dibintangi oleh Jim Carrey, sedari lahir hidupnya sudah menjadi tontonan masyarakat dunia. Hidup Truman semuanya palsu, pekerjaannya, pilihan hidupnya, hingga seluruh orang yang ia kenal. 24/7 hidup Truman dan “dunia miliknya” ditonton oleh seluruh mata dari seluruh “dunia nyata” tanpa ia ketahui. Sampai akhirnya Truman mulai menjadi sebuah anomali dalam dunianya, pemicu rasa takut si director. “Perang” pun terjadi, antara manusia yang mencari jawaban atas realitasnya melawan simulator dan hak kendalinya.
The Truman Show menjadi salah satu film yang sedari lama ingin aku tonton. Tema yang diangkat benar-benar menarik. Tema yang tentu berasal tidak hanya dari buah pikir satu dua orang saja: bagaimana jika hidup yang kita jalani saat ini adalah sebuah simulasi? Ide, realitas, dan sesuatu yang benar-benar kita rasakan secara nyata, sebenarnya tidak nyata.
Dari internet, hasil selancar usai menyelesaikan The Truman Show, aku akirnya menemukan sebuah laman yang membahas tentang “Simulation Theory”. Di dalamnya dijelaskan sebuah paper menarik milik Nick Bostrom, seorang filsuf dari Swedia, yang berjudul “Are You Living in a Computer Simulation?”.
Dalam paper itu ditulis bahwa jauh di masa depan ada sebuah mega-komputer yang mampu menjalankan secara banyak dan rinci simulasi dari leluhur manusia — ancestor simulations — di mana makhluk-makhluk yang disimulasikan diilhami oleh semacam kesadaran buatan. Jika begitu, seperti yang dijelaskan Bostrom, maka pikiran kita saat ini tidak berasal dari ras asli kita sendiri, melainkan kita sebenarnya hanya disimulasikan berdasarkan dari ras asli keturunan si simulator yang jauh lebih maju.
Namun, supaya kita yang ada saat ini bisa sampai pada tahap itu, tentu akan memerlukan daya komputasi yang cukup untuk melacak “kondisi kepercayaan terperinci dalam semua otak manusia setiap saat.” Kenapa? Karena pada dasarnya perlu sebuah pengamatan (terhadap burung, mobil, dll) sebelum terjadi dan memberikan detail simulasi dari apa pun yang akan diamati.
Dalam masa yang disebut simulation breakdown inilah si simulator — entah seorang remaja atau alien berkepala besar — bisa saja mengedit keadaan otak seseorang yang menyadari anomali sebelum simulasinya kita rusak, atau kalau tidak, dalam simulation breakdown, si simulator juga dapat memundurkan beberapa detik ke belakang dan menjalankan kembali simulasi untuk menghindari masalah.
Simulation breakdown-lah yang dilakukan si director untuk membuat Truman tetap sadar kalau ia hidup dalam realitas yang sebenarnya. Tentu dengan cara pengeditan versi si director.
Rizwan Virk, seorang pengusaha teknologi dan penulis buku The Simulation Hypothesis bilang kalau kita masih belum sampai titik yang dijelaskan oleh Bostrom, tapi nanti akan berada dI sana. Ada sepuluh checkpoints sebelum kita bisa menjalankan simulasi penuh itu dan kita hampir setengah jalan menuju ke sana. Meski masih ada beberapa hambatan seperti brain computer interfaces yang bahkan saat ini belum ada.
Untuk bisa ke sana, tambah Virk, kita harus bisa mendapatkan pemahaman yang lebih besar tentang kesadaran manusia dan cara kerjanya sehingga kita dapat menghasilkan “Conscious AI.” Atau dengan cara alternatif yang tidak terlalu teknis seperti “menipu kesadaran kita untuk berpikir bahwa kita dalam kenyataan ketika kita sebenarnya berada dalam permainan video” di mana karakter non-pemain menunjukkan perilaku seperti manusia yang cerdas yang lolos dari Tes Turing.
Preston Greene, seorang profesor Filsafat dari Nanyang Technological University Singapura bahkan bilang kalau kita bisa saja saat ini sedang hidup dalam simulasi. Namun membuktikan bahwa kita sedang berada dalam sebuah simulasi dapat menjadi bencana besar.
Dijelaskan oleh Greene bahwa sama halnya ketika ilmuan yang saat ini sedang melakukan penelitian sains dalam simulasi digital (misalnya membuat skenario dengan menghilangkan keberadaan nyamuk di bumi), dunia dan setiap pergerakan dari keberadaan kita di masa lalu mungkin merupakan eksperimen simulasi manusia masa depan — entitas yang memainkan simulasi kita saat ini; si simulator.
Ketika ilmuan dapat menghentikan gempa, cuaca, dan lainnya di dalam penelitian simulasi digital, hal serupa juga bisa terjadi pada kita ketika kita tidak memberikan data yang berguna lagi bagi si simulator dan ia bisa saja langsung mematikan simulasinya tanpa peringatan. Namun yakinlah, kata Greene, perihal simulator yang mematikan simulasinya: “it would be a quick and painless death.”
Masih menurut Greene, jika ilmuan melakukan eksperimen untuk membuktikan kita hidup dalam simulasi dan mereka memberi tahu semua orang tentang ini, makan akan berefek besar pada perilaku peradaban manusia. Pun simulasi kita jadi tidak lagi berguna untuk menjawab pertanyaan-pertanya tentang tingkat realitas dasar, toh semuanya hanya sebuah komputer yang sedang melakukan simulasi. Namun meski simulator kita punya banyak cara menghentikannya jika hal ini benar terjadi, simulation shutdown-lah yang dirasa Greene paling pantas dilakukan oleh si simulator.
Ya tentu, teori ini juga banyak dipandang skeptikal. Bahkan secara luas hipotesis ini telah dibantah pada tahun 2017 oleh fisikawan Zohar Ringel dan Dmitry Kovrizhi dalam artikel di jurnal Science Advances berjudul “Quantized gravitational responses, the sign problem, and quantum complexity.”
Mereka secara spesifik membuktikan bahwa sebuah teknik komputisasi klasik “quantum Monte Carlo,” yang digunakan untuk mensimulasikan partikel kuantum (foton, elektron, dan jenis partikel lain yang menyusun alam semesta) tidak cukup untuk mensimulasikan komputer kuantum itu sendiri. Jadi, jika tidak mungkin untuk mensimulasikan komputer kuantum, lupakan tentang mensimulasikan alam semesta.
Sebagai penutup, kutipan langsung dari jawaban Virk tentang apa untungnya semuanya ini mungkin berguna: “Is that which all good science pursues: truth. More specifically, our truth. If we do in fact exist inside a video game that requires our characters (i.e. us) to perform certain quests and achievements in order to progress (“level up”). Wouldn’t it be useful to know what kind of game we’re in so as to increase our chances of surviving and thriving? I think it would make all the difference in the world.”
Namun, pada poin ini, sebelum terjawab benar atau tidaknya semua hipotesis itu, mungkin ada lebih baiknya kita sama-sama duduk dan berpikir tentang entitas macam apa yang saat ini duduk di depan komputernya pukul dua pagi sambil menikmati makanan cepat saji sembari memainkan kita dalam simulasinya, apalagi mengingat tahun 2020 dimulai dengan permulaan yang kurang baik. Siapa pun itu, ia sepertinya harus segera menyerahkan kepada ahli simulasi yang lebih baik untuk menyelamatkan kita semua, jauh sebelum simulation shutdown terlintas di kepalanya.