Selalu menyenangkan untuk tahu soal ragam teori yang membahas ihwal perjalanan waktu. Sepertinya akan terasa menyenangkan — terlepas dari segala macam konsekuensi — jika dapat menjelajah masa ke masa semudah berpindah dari satu tab ke tab lainnya seperti saat berselancar di internet.
Hingga saat ini, menurutku melihat tampilan foto dan gambar bergerak yang diambil pada masa lampau adalah cara curang untuk manusia dapat bersua ke masa lalu.
“Apa lagi?”
Selalu begitu pertanyaan yang terlintas di kepalaku setelah itu.
Beberapa waktu lalu seorang teman bercerita soal satu tempat: Plaza Festival, sebuah pusat perbelanjaan di Kuningan. Satu hal yang aku tahu soal tempat itu, yakni ada sebuah toko yang menjual buku-buku bekas.
Entah bagaimana satu dua detak jantung kemudian aku dan temanku sepakat untuk bersama-sama mengunjungi tempat itu.
Gambaran tentang toko buku bekas biasanya akrab dengan buku-buku langka di dalamnya. Biasanya aku pergi ke toko buku selalu dengan bekal daftar judul-judul yang sedang aku incar. Namun saat itu di kepalaku sedang tidak ada buku-buku yang hendak kubawa pulang, entah itu buku yang langka atau tidak. Di satu sisi ada alasan lain, seperti misalnya kepalaku yang terus berteriak mengingatkan ihwal banyaknya buku-bukuku yang bahkan plastik pembungkusnya saja masih rapi.
Lalu aku putuskan untuk sekadar berkunjung dan melihat-lihat buku yang tertumpuk tidak beraturan di toko itu.
Kupikir bisa dihitung jari alasanku ke toko buku hanya untuk melihat-lihat saja. Meski kita tahu, tak sedikit orang yang niat awalnya hanya bertandang tapi berakhir pulang dengan menenteng banyak buku di tangannya.
Matahari terbenam. Namun malam masih belum penuh. Kendaraan masih berlalu lalang di Jalan Rasuna Said yang beberapa titik jalanya tidak mulus. Suasana sekitar jalan masih diwarnai oleh manusia-manusia lelah yang baru saja pulang bekerja.
Terakhir kali aku menginjak kaki di pusat perbelanjaan ini adalah dengan orang yang mengenalkankanku kepada ibu kota. Kini manusia di sebelahku, yang sedang berjalan dari rubanah usai memarkirkan kendaraan, adalah ia yang kukenal saat aku sudah mulai sedikit paham dengan kota yang kata orang-orang tidak pernah tidur ini.
Beberapa puluh langkah kemudian, kini pandangan kami dipenuhi oleh buku yang tidak beraturan, tidak terorganisir, kebanyakan kertasnya berwarna kuning, beberapa sampul lainnya juga tampak lecek. Hal ini selalu jadi pertanyaanku, kenapa toko yang menjual buku bekas tidak pernah membuat buku-bukunya tertata rapi seperti toko-toko yang menjual buku baru. Apa memang disengaja supaya lahir kesan yang berbeda atau sekadar asal tumpuk saja, toh bukunya bekas dan harganya dijual murah.
Sebagai orang yang senang melihat benda-benda tersusun rapi, berkeliling di toko buku bekas membuatku sedikit bingung untuk mulai dari mana. Aku kerap berulang-ulang mengitari sudut toko yang sudah aku lewati –selain karena ruangan tokon yang memang kecil.
Aku merasa banyak melewatkan judul-judul buku akibat tumpukan yang tidak rapi ini. Setidaknya bagian komik membuatku dapat bertahan lebih lama, sebab beberapa komik masih terlihat sedikit rapi dan seragam warnanya karena berusaha diletakkan berdasarkan nomor urut. Meski tidak lengkap, tentunya.
Aku dan temanku yang juga masih sibuk memerhatikan buku-buku, sebelumnya sempat berbincang soal majalah masa kecil yang kami baca. Kami sama-sama membaca majalah Bobo. Namun, ia punya majalah lainnya. Ia bercerita soal Kuark, majalah favoritnya, yang secara sederhana aku anggap sebagai buku pelajaran, hanya saja dalam format komik.
Siapa yang mengira di toko buku itu temanku menemukan majalah Kuark yang masih dijual. Ada beberapa jilid. Ia mengambil tiga dan memutuskan untuk membelinya.
Masih di antara tumpukan, dalam kepalaku terbesit soal buku-buku bekas yang tidak punya aroma khas seperti halnya buku-buku yang masih terplastik rapi, tapi itu bukan soal buatku. Kini, yang tiba-tiba terlintas di kepalaku adalah tentang dari mana saja buku di toko ini berasal, ke mana saja buku di toko ini sudah menjelajah, dan bisa saja beberapa buku di toko ini baik yang terlihat atau tidak oleh mata, sudah hidup jauh lebih lama dariku.
Ya, memang tidak perlu menunggu momen aneh, misalnya, bagi isi kepala manusia untuk memberikan kejutan. Tidak sedikit dan tidak jarang orang-orang mendadak sedih atau sebaliknya, hanya karena pikiran tentang ini dan itu yang tiba-tiba bertamu tanpa tahu waktu dan situasi.
Sepertinya halnya tampilan foto-foto lama, mungkin buku juga serupa soal menjadi medium yang dapat mengantar kita untuk menjelah waktu dan memberikan kejutan. Meski kata ‘menjelajah’ sendiri kurasa kurang tepat untuk menggambarkan orang-orang yang hendak mengunjungi masa lalu.
Meja ke meja. Tangan ke tangan. Dari perpustakaan hingga ke bar yang mulai bankrut. Dari musim kemarau hingga hari Natal. Buku-buku ini, aku yakin, menyaksikan banyak cerita dan menyerap banyak kata dibanding cerita dan kata di dalam tumpukan kertas itu.
Saat itu juga, aku berharap buku-buku di sekitarku punya mulut untuk berbicara panjang lebar soal perjalannya. Sayangnya, duniaku tidak sama seperti yang ada di dalam kepala Haruki Murakami. Meski kadang rumitnya sama.
Buku-buku itu tetap diam. Tetap hanya sebuah buku. Menunggu tangan-tangan menyentuhnya untuk kemudian diputuskan oleh si pemilik tangan apakah buku tersebut akan berpindah tempat atau bertahan lebih lama lagi di tumpukan tidak beraturan itu.
Aku kecewa, tapi entah pada siapa, karena tidak bisa membicarakan banyak hal tentang masa-masa lampau dengan buku-buku itu. Kupikir, dengan ada yang mulai mengajakku bercerita soal masa lalu, aku bisa menimpalinya sembari menunggu giliranku setelah buku-buku itu puas bercerita.
Kini urusan kami sudah selesai dengan toko buku bekas itu. Aku dengan tiga buku baru di tanganku, begitu juga dengan temanku dan majalah Kuark-nya. Dalam kepalaku muncul lagi pertanyaan: kusebut apa buku yang baru kubeli ini? Apakah kini menjadi buku baru atau tetap buku bekas? Namun sedetik kemudian aku sudah tidak peduli.
Apalagi mengingat sekarang sudah memasuki waktu yang lebih tepat untuk memutuskan makan di mana, atau ya, makan apa.
Aku belum lama tinggal di ibu kota, tapi sedikit mulai mengerti kenapa beberapa dari masyarakatnya selalu memilih pergi ke McDonald’s jika tidak ada pilihan lain untuk makan. Melihat waktu yang kerap terkikis di jalan hanya untuk pergi ke tempat makan langganan atau setidaknya warteg yang rasanya sudah terjamin, menjadi jawaban yang paling jujur kenapa rumah makan cepat saji yang ikon badutnya kini menghilang bertebaran di mana-mana.
Untuk perkara ini, aku terpaksa sepakat memilih produk kapitalis dengan rasa yang sudah terjamin ketimbang bertaruh mencoba tempat makan yang kadang berujung di mana harganya tidak berbanding lurus dengan hidangan.
Well. Jakarta. Selain apa saja ada, kadang, ada-ada saja.
Sialnya nasi dari paket PaNas McDonald’s yang kami pesan dan santap malam itu rasanya aneh. Teksturnya lengket dan lebih cocok jadi lem ketimbang makanan. Seperti manusia yang bangun kesiangan, kami sama-sama sadar terlambat. Sebab nasi sudah habis setengah dan berada di dalam perut masing-masing.
Malam itu, aku dan temanku berbicara ngalor ngidul seperti biasa. Sesekali aku menghitung sudah berapa pucuk rokok yang ia habiskan. Cuaca malam, sejak sepekan terakhir atau mungkin lebih, masih konsisten membuat gerah. Kadang, saking panasnya, isi kepalaku kerap bingung ihwal mana kenyataan atau sekadar angan-angan serakah yang muncul sebentar.
Isi kepalaku, entah riil atau karena cuaca yang bertambah panas, masih dikelilingi soal perjalanan waktu dan beberapa soal masa lalu yang tampaknya lebih dominan. Sekelilingku mendadak hening. Keheningan ini semakin aneh. Aku bahkan tidak tahu mana yang benar dan mana yang hanya menjadi skenario di dalam kepala. Walahi, aku berusaha untuk mencari cara memecah keheningan yang terasa dalam ini.
“Kamu memangnya sudah move on?”
Suara itu keluar dari mulutku. Tidak biasanya temanku diam dan cuek. Ia masih fokus mencari korek untuk menyalakan rokoknya yang sekarang entah ke berapa. Sepertinya aku melewati satu atau dua hitungan.
“Kamu memangnya sudah move on?”
Aku mengulang dengan sedikit heran kali ini. Masih belum ada balasan.
Dalam satu tarikan nafas, rokok temanku yang sudah disulut api itu terbakar diikuti asap yang mulai berhembus dari mulutnya. Perlahan, seperti volume suara televisi yang mulai dinaikkan dari nol hingga ke angka sepuluh, suara-suara keramaian menyeruak. Kini klakson mobil terdengar jelas. Bus TransJakarta tertangkap jelas oleh mataku. Dengan orang-orang yang berdesakan di dalamnya, membantu mengembalikan kesadaranku sepenuhnya.
“Kamu memangnya sudah move on?”
Suara itu masih terdengar jelas ternyata. Namun, dengan kesadaran yang kini penuh, aku tahu kalimat tersebut hanya gema yang tidak pernah berhenti dari tempat yang berada jauh, jauh, jauh di dalam sana. Gema yang beberapa waktu terkhir kalah oleh ramainya hiruk pikuk kendaraan dan bel sepeda abang starling.
Anehnya, gema itu menemukan celah di malam Selasa ini dengan disasksikan oleh cola float yang mencair. Kuambil gelas plastik di depanku itu dan meminumnya kembali karena tidak mau rugi.
“Iya ya, nasinya gak enak” kataku.
Wajah temanku mengisyarakatkan balasan berbunyi “iya, kan!” dari wajahnya. Tanda supaya aku juga memvalidasi pernyataannya yang lebih dulu sadar soal nasi lengket itu. Sejujurnya aku tidak peduli, yang aku syukuri adalah ucapanku barusan benar-benar nyata.
Lalu oborolan kami berlanjut.
Mengeluhkan pekerjaan.
Sesekali membicarakan orang-orang.