Monster: Kore-eda dan Perasaan-perasaan Campur Aduk

Mario
2 min readJan 5, 2024

--

Apa hal yang lebih menyenangkan dari sebuah cerita bagus? Bagiku, cara bercerita yang berbeda. Hal inilah yang diterapkan oleh Hirokazu Kore-eda dalam film besutan terbarunya: Monster (2023).

Dalam bahasa Jepang film ini berjudul 怪物 (kaibutsu) yang secara harfiah berarti “unknown things”. Aku sendiri bersyukur menonton Monster dengan banyak ketidaktahuan–hanya bermodal nama si sutradara dan satu film garapannya yang berhasil membawa pulang piala utama Palme d’Or di Cannes Film Festival 2018.

Monster memberikan sebuah awal dan akhir konflik cerita secara langsung dari bagian pertama, tengah, hingga menjelang penutup film. Semua dirancang untuk menjadi kuda-kuda kokoh guna menopang ujung piramida cerita di bagian penghabisan. Menonton film ini serasa diberi kebebasan untuk menentukan sendiri bagian mana yang layak menjadi awal dan akhir cerita.

Seperti tamu yang disajikan jamuan sepotong-sepotong oleh si tuan rumah, Monster mulanya menjadi sebuah santapan yang kita pikir tidak asing tapi berakhir menjadi kekosongan di kepala ihwal menu seperti apa yang sebenarnya hendak dihidangkan oleh sang peracik. Aneh. Namun tetap nyaman dari sisi tampilan, aroma, hingga rasa. Lebih anehnya lagi mulut tidak pernah berhenti mengunyah.

Kore-eda menyusun banyak lapisan cerita yang pada bagian awalnya tampak serampangan. Sehingga, aku yakin tidak sedikit penonton hanya dapat memilih antara menebak atau ditipu berkali-kali dalam mencari tahu film yang ditulis oleh Yuji Sakamoto ini hendak dibawa ke mana.

Film ini benar-benar bermain dengan ekspetasi dan prasangka penonton dalam setiap narasinya dengan liniwaktu yang tidak linear. Kore-eda menyajikan kebebasan untuk penonton lebih menaruh hati kepada Saori Mugini (Sakura Ando), Minato Mugino (Soya Kurokawa), Michitosi Hori (Eita Nagayama) atau tidak semuanya.

Namun yang jelas, meski tidak ada rupa monster atau kaiju dalam film ini, setiap menitnya bakal selalu menggiring menuju rasa takut yang kian membuncah. Ketakutan ini diiringi dengan baik oleh musik dari Ryuichi Sakamoto yang salah satunya hanya bermodalkan tiupan terompet. Di satu sisi, segala keseraman juga berhasil dinihilkan oleh si komponis dalam film yang kalau kata Joko Anwar di cuitannya: a beautiful, tender, unpredictable film.

Monster pada akhirnya menghadirkan perspektif memukau soal gaya maupun cerita itu sendiri. Film ini juga bertutur begitu dalam sekaligus luas soal hubungan antar-manusia. Kore-eda punya kacamata sendiri dalam membingkai rasa takut, khawatir, dan ketulusan yang entah bagaimana justru melahirkan kesan rasa aneh tapi juga melegakan saat perlahan-lahan teks akuan memanjat layar.

Mungkin ini sok tau, tapi aku berani bilang Monster berhasil memberi tahu perihal kematian dan kebebasan adalah segalanya dari yang maha. Tentu hal itu tersirat nyata bersama badai yang dihadirkan Kore-eda dalam filmnya ini.

--

--

No responses yet