Mengenang Kepergian

Mario
4 min readApr 5, 2021

--

Foto: Dokumen Pribadi

Sebagai seorang anak yang malas bangun pagi untuk pergi ke sekolah, bangun pada waktu seperti yang tertulis di Markus 1:35 — pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap — mungkin hanya terjadi sekali sehari setiap tahunnya di hidupku.

Seperti tanpa paksaan, tubuhku terasa sangat segar dan tidak pernah ada rasa kantuk menyerang. Padahal jarum jam masih belum menyentuh pukul empat subuh. Cuci muka seadanya, pergi keluar mengenakan baju yang masih sama ketika dipakai saat tidur, lalu bersama seluruh anggota keluarga lainnya pergi berjalan kaki menuju pekuburan yang jaraknya hanya memakan waktu kurang lebih satu menit dari tempat tinggal.

Langkah-langkah kaki yang bergesek dengan aspal memecah hening. Dalam rombonga ada yang membawa kantong plastik berisi bunga rampe, sementara lainnya membawa lilin dan korek api. Semakin dekat ke tujuan, cahaya lilin-lilin yang sudah dinyalakan oleh orang-orang yang sampai lebih dulu terlihat seperti melayang-layang. Seperti bola-bola api yang menjadi tanda penyambutan untuk siapa saja yang baru datang ke makam dan juga penghangat untuk mereka yang tiba lebih awal.

Seminggu sebelum Paskah pemakaman selalu ramai hampir setiap sorenya. Orang-orang berkumpul untuk membersihkan makam keluarganya yang sudah banyak dihiasi oleh rumput liar. Lebih-lebih ada yang yang sampai mengecat ulang beberapa bagian makam yang warnanya sudah pudar.

Mereka semua membersihkan yang kotor serta mencabut yang mengganggu, sembari mengobrol atau menjelasakan silsilah keluarga yang telah berpulang kepada anggota keluarga lainnya. Mungkin seminggu ini juga dalam satu tahun area pemakaman jadi tidak menyeramkan.

Lagu dari kidung pujian dilantunkan di pemakaman subuh itu. Biasanya ibadah di pemakaman berakhir seiring matahari merekah. Ufuk timur mulai bercahaya, beberapa lilin sudah habis setengah batang termakan apu, beberapanya padam lebih dulu oleh angin pagi atau tangan anak kecil yang usil.

Udara masih dingin. Biasanya beberapa orang masih santai mengobrol sebentar usai ibadah sebelum pulang dan bersiap lagi untuk lanjut ibadah pagi di gereja. Sebelum pulang lilin dipadamkan, sisa lelehannya melekat di atas atau ujung kanan dan kiri salib pemakaman. Sesampai di rumah aku menyalakan tv kemudian menonton seri Ultraman yang biasanya menjadi penanda dimulainya tontonan Minggu pagi.

Setidaknya beberapa paragraf di atas merupakan potongan memori tentang Paskah yang bersarang bebas di kepalaku. Beranjak kuliah aku sudah tidak pernah mengikuti ritual menyambut paskah tersebut. Kupikir usai kuliah semuanya akan kembali seperti biasanya. Namun siapa yang sangka aku bertahan jauh lebih lama dari rumah. Untungnya tahun ini berbeda, meski sebenarnya angka 2020 lah yang lebih tepat untuk menggambarkan arti kata “berbeda” ini.

Tahun ini merupakan tahun kedua paskah tanpa ibadah subuh di pemakaman. Sejak pandemi memang semuanya terasa aneh. Kapan lagi melihat orang-orang berolahraga sambil menggunakan masker atau mengetahui orang nomor satu di negara ini menjadi saksi pernikahan seorang influencer.

Pemakaman hanya didatangi untuk dibersihkan. Kehadiran sedikit orang-orang tidak membawa perbedaan selain rumput yang lebih pendek. Sisanya, senyap. Entah mana yang lebih dipertanyakan oleh orang-orang mati: dua tahun tanpa ibadah atau keluarga yang datang dengan separuh lebih wajah yang tertutup.

Tahun ini juga bertambah satu daftar makam yang aku datangi. Salah seorang teman sejak kecil yang berpulang duluan akhir Agustus lalu. Ada perasaan asing rasanya ketika tahu kita tidak akan pernah bisa sama sekali berbicara tentang apa saja dengan seseorang karena ia telah pergi. Beberapa orang lain menyebutnya pulang.

Aku tentu punya lebih banyak memori dengan temanku ketimbang keluargaku yang telah pergi lebih dulu. Mereka pergi ketika aku belum datang, tapi darah yang mengikat tentu akan terus terasa. Dulu aku hanya menaburkan bunga rampe di atas makam karena ya keluargaku menyuruhku untuk melakukan hal itu, sambil diberikan informasi bahwa makam-makam tersebut adalah keluarga-keluargaku yang telah dulu pergi.

Siapa sangka delapan tahun lebih tidak mengikuti tradisi paskah membuat seorang laki-laki pertengahan 20-an ini jadi jauh lebih sentimentil.

Sekarang aku menaburkan bunga di atas tanah yang di mana di dalamnya ada teman yang semasa SMP pahanya pernah sobek akibat terkena jangka milkku.

Sekarang aku menaburkan bunga di atas tanah di mana yang di dalamnya ada sosok kakek yang aku pun tak pernah tahu bagaimana suaranya ataupun bagaimana wajahnya ketika marah.

Sekarang aku menaburkan bunga di atas tanah di mana yang di dalamnya ada sosok paman, yang lucunya, usiaku sekarang jauh lebih tua darinya.

Sekarang aku menaburkan bunga di atas tanah yang di mana di dalamnya ada sosok moyang yang mungkin di kepalanya banyak informasi bagaimana kehidupan pasca kemerdekaan.

Benar ternyata, ketika kita ingin memahami dan menulis suatu hal, kita harus mengalaminya lebih dulu. Untuk memahami lalu menulis bagaimana rasanya sebuah kemenangan, kita harus lebih dulu menjadi juara. Hendak memahami rasanya lutut terluka dan menulis tentang rasa sakitnya, kita harus merasakan jatuh lebih dulu. Ingin menulis tentang patah hati, untuk hal ini kita semua tahu harus apa.

Menariknya, untuk menulis tentang kepergian, kita ternyata tidak perlu pergi, tapi ditinggalakan.

Selamat Paskah.

--

--

No responses yet