Makan-makan Dandadan

Mario
5 min readJan 14, 2025

--

Dandadan (ダンダダン) adalah seri manga yang dibuat oleh seorang mangaka bernama Yukinobu Tatsu. Menceritakan Ken Takakura/Okarun yang tidak percaya pada hantu dan Momo Ayase yang tidak percaya pada alien. Hingga akhirnya mereka punya kekuatan supernatural yang didapat dari masing-masing sosok yang tidak mereka percayai itu.

Melawan gangguan hantu dan alien yang datang bergantian pun kini jadi petualangan baru buat mereka sembari dibarengi dengan tujuan untuk menyelesaikan konflik yang lahir di awal kisah (spoiler): mencari buah zakar Okarun yang hilang akibat kutukan dari Tābo Babā — arwah seorang nenek yang dapat berlari sangat cepat dan bergentayangan di sebuah terowongan terbengkalai.

Narasi nyeleneh ala Jepang seperti ini memang kerap ditemukan dalam beberapa medium penceritaan. Lalu kemudian meledak dan menjadi populer? Tentu tidak semua, tetapi Dandadan salah satunya. Sejak April 2021, manga Dandanan terus berjalan. Serialisasi anime di bawah rumah produksi Science Saru baru saja tayang untuk musim pertama pada Agustus 2024. Keduanya disambut baik.

Sepanjang 180-an chapter manga (hingga tulisan ini diolah) , petualangan Okarun sudah melewati beberapa arc — struktur dan progres dari sebuah plot cerita. Banyak karakter baru ditampilkan mulai dari manusia, hantu, hingga alien. Tak lupa, ragam referensi budaya populer juga diselipkan oleh pria yang pernah jadi asisten mangaka Tatsuki Fujimoto (Chainsaw Man).

Namun, yang menarik, Tatsu selalu menutup akhir arc-nya dengan menampilkan para karakter berkumpul di sebuah ruangan dan menyantap makan besar. Gambar itu biasanya diolah dalam dua panel, beberapa adegan menampilkan para karakter makan dengan tenang, tetapi ada juga yang sebaliknya di mana karya goresan tangan Tatsu dipenuhi oleh dialog-dialog dalam gelembung sembari menunjukkan ributnya para karakter saat menikmati makanan.

Adegan menyantap makanan itu ternyata tidak hanya sebagai penutup kisah usai Okarun dan kawan-kawannya, sekali lagi, berhasil melewati petualangan yang absurd sekaligus epik. Dalam sebuah wawancara, Tatsu mengungkapkan alasannya.

Menurut Tatsu, seseorang harus selalu mendapat balasan atas kerja kerasnya. Hal itu jadi gagasan utamanya. Kemudian, Tatsu juga dibuat terpukau oleh karya olahan Miyazaki Hayao (Studio Ghibli) yang selalu menampilkan adegan makan usai orang-orang selesai bekerja. Selain itu, kutipan terkenal dari film animasi Jepang tahun 1981, Janriko Chie, juga jadi alasan: The worst thing for a human being is to be hungry and feel cold.

“It’s pointless if you work hard and get nothing,” ujar Tatsu dalam wawancara.

Tatsu sempat hidup dalam keadaan ekonomi yang tidak baik-baik saja saat menjadi asisten mangaka. Kala itu ia pernah diberikan oleh sensei-nya uang sebesar seribu yen untuk membeli cemilan tengah malam. Uang itu sekejap berubah menjadi daging babi goreng dan kopi kaleng dalam perjalanan pulangnya usai bekerja. Masa itu cukup sulit baginya dan ia tidak mau orang lain melewati pengalaman serupa.

“Dandadan. Because it is entertainment, I want to end it by showing readers hope and want to be kind. That’s the most important thing,” tutupnya di sesi akhir wawancara.

Itadakimasu (いただきます) dan Nomikai (飲み会)

Beberapa tentu sudah tidak asing dengan kata berbahasa Jepang yang diucapkan sebelum menyantap makanan ini. Itadakimasu: saya menerima dengan rendah hati. Dulu, kata ini digunakan terutama oleh penganut agama Buddha untuk berterima kasih kepada hewan dan tanaman yang sudah ‘berkorban’ supaya manusia bisa makan.

Selain untuk makanan dan tumbuhan, itadakimasu juga diucapkan untuk menghormati orang-orang yang terlibat dalam proses mengolah makanan mulai dari belum menjadi apa-apa hingga tersaji di atas meja makan.

Kini, itadakimasu mungkin bisa dikatakan telah bergeser makna dan dapat diartikan seperti bon appétit dalam bahasa Perancis. Namun, tetap tidak bisa digunakan di sembarang momen. Kata ini tidak boleh diucapkan di depan seseorang yang, di mana posisinya saat itu, tidak ikut makan bersama. Jika diucapkan, artinya makanan yang ada harus dibagi.

Masih berkaitan dengan makanan, Jepang juga memiliki fenomena sosial di mana biasanya sekelompok orang atau sekumpulan karyawan berkumpul saat malam hari di izakaya — tipikal bar-restoran yang menyediakan sake, bir, hingga makanan seperti yakitori, edamame, hingga karaage.

Nomikai yang secara harfiah diartikan minum bersama merupakan kesempatan yang biasanya digunakan untuk mempererat hubungan dan bersantai dalam suasana yang ramah. Dalam konteks antar-rekan kerja, nomikai merupakan wadah yang tepat untuk menjalin ikatan yang tidak bisa dibangun di jam-jam kerja.

Izakaya buka sejak malam hingga larut. Tempatnya menggunakan dekorasi tradisional, menggunakan pencahayaan redup dari sebuah lentera kertas. Di dalamnya, pegawai berteriak ‘sumimasen’ saat ada pelanggan yang datang, suara gelas bir yang bertabrakan sambil diiringi teriakan ‘kanpai’ turut mewarnai.

Makanan Sebagai Pola Budaya

Usai sedikit mengubek informasi, aku menemukan nama antropolog sosial Perancis, Claude Levi-Strauss dan teori strukturalisme yang menyatakan adanya pola-pola dalam fenomena sosial dan budaya. Para penganut strukturalisme percaya bahwa struktur tersembunyi membentuk semua budaya dan perilaku manusia.

Strukturalisme Levi-Strauss menggambarkan persamaan antara bahasa dan masyarakat. Sama seperti bahasa yang memiliki unit-unit dasar (fonem) yang bergabung menjadi struktur yang lebih besar (kata dan kalimat), masyarakat juga memiliki unit-unit dasar yang bergabung menjadi struktur budaya. Levi-Strauss bertujuan untuk mengungkap tata bahasa yang mendasari fenomena sosial.

Dalam budaya Jepang, selain proses menghormati makanan yang amat sangat dari berbagai aspek, olahannya juga kerap sederhana dan berpusat pada bahan-bahan segar dan sederhana (sushi, sashimi, temaki, yudofu) serta musiman.

Nihon Shoki, buku sejarah resmi tertulis mengenai Jepang bahkan menceritakan salah satunya tentang Iwakamutsukari-no-Mikoto, dewa memasak. Kuil Takabe di Minamiboso didedikasikan untuknya. Iwakamutsukari-no-Mikoto dan keturunannya menjadi koki kekaisaran usai 1.800 tahun lalu — menurut legenda — usai kaisar datang ke Minamiboso dan Iwakamutsukari-no-Mikoto menyajikan remis putih yang kemudian membuat kaisar terkesan atas kelezatannya.

Tabula Rasa (2014), Aruna dan Lidahnya (2018), Chef (2014), The Menu (2022), Feast of the Seven Fishes (2018) adalah beberapa film yang menjadikan makanan sebagai salah satu unsur utamanya. Pun anime seperti Cooking Master Boy (1997) hingga Shokugeki no Soma (2012). Bahkan karakter utama manga populer seperti Uzumaki Naruto, Son Goku, hingga Monkey D. Luffy digambarkan sangat suka makan. Karya-karya di atas muncul dari ragam manusia yang lahir dan besar dari berbagai pengalam dan budaya, sebagaimana Tatsu dengan cemilan tengah malam dan ketertarikannya akan film-film Ghibli.

Daya olah informasi yang kemudian dilahirkan dalam medium penceritaan ini tentu kurasa tidak bisa berbohong soal perspektif. Sama halnya seperti jenis orang yang terbagi dua ketika ditanya soal makanan: yang sangat ahli dalam mendeskripsikan rasa dan yang hanya tahu antara “enak” dan “enak sekali.”

Aku teringat ihwal beberapa hari lalu, seorang teman mengenalkan padaku soal mindful eating atau makan dengan penuh kesadaran. Konsepnya hampir serupa seperti makna di balik kata itadakimasu yang semakin menyadarkanku kalau konsep nyeleneh seperti ‘nasi menangis kalau tidak dihabiskan’ ternyata bisa diterima dengan cukup masuk akal.

Bagiku, menikmati makanan kini bukan sekadar proses mengisi perut saja, melainkan berkomunikasi serta berkenalan dengan budaya dan perspektif. Aku bisa saja salah, tapi mungkin kita memang dapat menilai kepribadian seseorang dari bagaimana dia memperlakukan makanan atau hal lainnya seperti ide yang entah muncul dari mana soal membuat program makan gratis.

--

--

No responses yet