Keproduktifan adalah sebuah orientasi karakter yang ada di dalam diri setiap orang, asalkan mereka tidak lumpuh secara emosional. Orang yang produktif menghembuskan hidup pada apa pun yang mereka sentuh.
— Erich Froom, The Art of Living
Sudah sekarang karantina hari ke berapa. Namun yang jelas, beberapa orang-orang semakin bosan. Banyak yang bilang karantina tentu bukan masalah untuk seorang introver, tapi sepertinya proses pengisian daya dengan menenangkan dan menjauhkan diri dari interaksi sosial yang riuh tentu juga ada batasnya. Aku sempat merenungkan, lalu apa bedanya manusia-manusia ini jika pada akhirnya semua akan menuju kebosanan yang sama?
Di masa pandemi seperti ini aku seperti merasa tidak ada bedanya ketika melakukan aktivitas berlama-lama di dalam kamar tanpa interaksi. Bahkan ketika matahari tenggelam, dan aku baru keluar kamar untuk mencari pengisi perut, ibu kos yang berpas-pasan denganku pun sampai melemparkan pertanyaan: “seharian ga keluar kamar?”.
Sejauh ini aku me-self procalimed diriku sebagai introver. Bagiku — dan tentu pasti bagi beberapa orang lainnya yang sama sepertiku — berdiam diri tanpa kemana-mana bukanlah hal yang susah. Asalkan aku tetap punya asupan baik untuk perut pun kepala.
Saat ini, banyak negara di dunia menganjurkan warganya untuk melakukan seperti apa yang kaum kami lakukan. Hasilnya? Ternyata tidak mudah bagi mereka. Bahkan aku kenal seorang introver yang ia sendiri pun mengaku sudah mulai bosan. “Kamu kurang introver” kataku dalam bentuk teks kepadanya.
Dalam sebuah buku berjudul The Art of Living karya Erich Fromm, aku menemukan sebuah jawaban yang nampak cocok untuk pertanyaanku.
Fromm menulis bahwa dalam pengertian modern aktivitas tidak membedakan antara aktivitas dan keadaan sibuk belaka. Namun, ada dua hal yang menjadi perbedaan mendasar di antara keduanya, yaitu: “teralienasi” dan “tidak teralienasi” dalam kaitannya ihwal aktivitas.
Dalam aktivitas yang teralienasi, ujar Fromm, manusia tidak mengalami dirinya sendiri sebagai subjek yang bertindak dari aktivitasnya. Manusia sekadar mengalami hasil dari aktivitasnya. Contoh mudahnya adalah perilaku seseorang pascahipnotis. Orang itu tentu bergerak, bertindak, dan melakukan sesuatu, tapi tindakannya bukan hadir dari dirinya sendiri melainkan dari dorongan kekuatan yang tidak diketahuinya. Ia tidak sadar bahwa ia melakukan sesuatu yang sebenarnya diarahkan oleh si penghipnotis.
Kebalikannya, aktivitas yang tidak teralienasi adalah aktivitas yang di mana manusia mengalami sendiri sebagai subjek atas aktivitasnya. Aktivitas tidak teralienasi mengacu pada proses melahirkan sesuatu. Menghasilkan sesuatu dan tetap terhubung dengan apa yang manusia itu hasilkan. Aktivitas tidak teralienasi ini diistilahkan oleh Fromm sebagai aktivitas yang produktif.
Namun, “produktif” kali ini lumayan unik. Sebab hal ini tidak merujuk pada produk (sesuatu yang dihasilkan) dari aktivitas, melainkan kualitasnya.
Produk karya ilmiah atau sebuah lukisan bisa saja tidak produktif jika dibandingkan dengan seseorang yang hanya berbaring santai “melihat” sebuah pohon atau membaca puisi lalu mengalami perasaan beragam dalam dirinya seperti yang diungkapkan oleh si pujangga.
Justru hal ini sangat produktif bagi Fromm, meski tidak ada sesuatu pun yang “diproduksi” dari sekadar “melihat” pohon dan membaca puisi ketimbang menghasilkan sesuatu yang nyata dalam sebuah bentuk karya ilmiah dan lukisan.
Menurut Fromm aktivitas produktif di sini tidak megacu pada aktivitas batiniah. Aktivitas produktif tidak serta-merta berhubungan dengan penciptaan suatu karya seni, ilmu pengetahuan, atau sesuatu yang “bermanfaat”. Keproduktifan adalah sebuah orientasi karakter yang ada di dalam diri setiap orang, asalkan mereka tidak lumpuh secara emosional. Orang yang produktif menghembuskan hidup pada apa pun yang mereka sentuh.
Fromm mengatakan bahwa sebuah aktivitas bisa saja dijalankan untuk menghindari kebosanan. Ia pun mengajak kita untuk berandai-andai: bayangkan ketika kita mengobrol dengan teman-teman kita sepanjang malam. Jika sudah, apa yang terjadi usai obrolan berakhir? Pilihan pertama, apakah kita merasa senang dan gembira, merasa hidup, menikamati obrolan bahkan tidak ingin semuanya berakhir atau pilihan kedua di mana kita merasa agak lelah dan bosan atau bahkan sebal dan tertekan, lalu begitu bersemangat untuk tidur ketika obrolan berakhir?
Jika jawabannya adalah pilihan pertama, di situ kita harus tahu bahwa yang kita lakukan tidak sekadar menghindari rasa bosan.