Tahun ini kita benar-benar diajak untuk melihat sistem yang berbeda. Tatanan roda yang sudah menjadi pondasi dan dipercaya sebagai patokan manusia-manusia dalam menjalankan perannya setiap hari, tahun ini, sedikit dirancukan. Kita dibenarkan untuk tidak bertemu, kita diharuskan meragukan, kita dipaksa melawan demi dapur mengepul.
Pandemi melahirkan banyak manusia-manusia baru. Manusia yang tiba-tiba mencintai tanaman, manusia yang mengakrabkan diri dengan hewan-hewan, manusia-manusia pemarah, dan manusia-manusia lainnya.
Ayahku misalnya, semenjak berada di rumah ia sudah membangun istana taman bunganya. Ia juga memelihara ayam. Kata ibu, ayah bahkan mengajak ayam-ayamnya berbicara.
Hal ini mengingatkanku dengan ibu dari sepupuku yang mempunyai lima belas lebih kucing peliharaan di rumahnya. Ia selalu mengajak mereka berdoa sebelum kucing-kucing tersebut menikmati santapannya.
Mencari “pekerjaan sampingan” mendadak menjadi sebuah fenomena. Apapun itu, asalkan dapat membantu melarikan diri dari rasa sepi dan bosan akibat interaksi yang mau tidak mau terbatas oleh jarak dan layar.
Aku sebenarnya masih bingung, apakah kata “melarikan diri” sudah tepat, atau “pelampiasan” jauh lebih cocok. Sebab tidak semua menjadi baik dan bersahabat dengan alam pun hewan, beberapanya lagi semakin lincah mengumpat, dan sisanya? Kupikir kita lah yang tersisa.
Bertahan dan berjuang selama satu tahun penuh dengan situasi yang asing ternyata tidak mudah, bahkan terkesan aneh. Bagaimana mungkin mengharuskan makhluk sosial untuk menyendiri? Apakah pekerjaan yang tidak diidam-idamkan tapi harus dijalani demi untuk hidup kurang membuat manusia merasa tidak punya apa-apa?
Lucu rasanya mengingat beberapa bulan lalu harus selalu terbangun di pagi hari dan disapa oleh rasa takut akan angka-angka yang terus menanjak. Barang-barang diborong oleh mereka yang mampu. Dikunci di rumah sendiri. Tidak boleh ini. Tidak boleh itu. Kukira larangan-larangan ini hendak menyamai 10 Perintah Allah.
Mata minus dan kacamataku sudah cukup membuatku perlu sedikit memutar otak untuk menebak siapa orang yang menyapaku dari kejauhan. Kini, semua orang memakai masker. Aku tidak tahu apakah harus memutar otak lebih lagi atau memilih berputar balik jika bertemu dengan orang yang menyapaku, tapi di satu sisi untuk mengenalinya pun jadi aemakin sulit.
Tulisan di atas tentu tidak bisa merangkum dan mewakili banyak pihak terhadap kejadian yang sudah genap satu tahun lebih ini. Namun, aku tahu semua sudah sama-sama lelah. Bedanya ada yang lebih dulu, ada yang baru-baru saja.
Beberapa orang yang dulu kulihat berkoar-koar tentang menjaga jarak, menjaga kebersihan, dan menggunakan masker sekarang tidak terlalu menjaga jarak. Entah masih bersih atau tidak, tapi satu hal yang pasti: tetap memakai masker. Mungkin benar, Adriano Qalbi, dalam podcast-nya pernah mengatakan bahwa kita sekarang sudah berada di titik “tidak terpapar, syukur. Terpapar, ya mau bagaimana lagi.”
Statistik Google per 24 Maret 2021, ada 39.865 jiwa yang meninggal akibat virus. Tidak disangka memang kalau kita kembali ke 2 Maret 2020, ketika yang terjangkit kala itu hanya dua orang: perempuan 31 tahun dan ibu berusia 64 tahun. Dulu manusia jatuh ke dalam dosa juga bermula dari perempuan.
Tenang, sebelum tulisan ini dicap bernada misogini, aku mau mengingatkan soal situasi kala itu ketika semua piha sebenarnya sudah harus menjalankan protokol kesehatan yang ketat dan benar, ada seorang laki-laki dengan jabatan tingginya menyuruh masyarakat tetap berdoa, menyalahkan warga membeli masker, misinformasi pasien, hingga mengatakan bahwa virus ini dapat sembuh dengan sendirinya. We all knew the name, and the rest is history.
Dari puluhan ribu jiwa yang pergi pasti ada kerabat, orang-orang terkasih, bos yang menyebalkan, tetangga yang suka nyinyir, beberapanya lagi tercampur orang-orang tidak berotak.
Mereka adalah orang-orang yang berjuang lalu pulang. Sedangkan kita, entah masih berperang atau sudah bersulang (sambil tetap menggunakan masker).