Gulai Kepala Ikan punya nilai tersendiri bagi Mak Uwo. Setiap satu tahun sekali ia memasak makanan favorit anaknya yang telah meninggal. Bagi Mak, memasak Gulai Kepala Ikan merupakan sebuah ziarah. Di Jakarta, Mak Uwo bersama Natsir dan Parmanto menjalankan usaha rumah makan padang. Siapa sangka kalau makanan favorit almarhum anak Mak Uwo menjadi alasan untuk Hans kembali bangkit. Seorang lelaki asal Serui, Papua, yang sempat kehilangan mimpinya.
Jika berbicara ihwal makanan, semua tidak hanya sekadar tentang pengganjal perut. Ada proses budaya di dalamnya. Namun yang paling penting, makanan berbicara tentang rasa yang paling jujur.
Setelah hampir delapan tahun menjadi perantau, selain hari Natal, salah satu hasrat yang membuatku ingin pulang ke kampung halaman adalah makanan. Selain masakan ibu, makanan-makanan di kampung halamanku tentu masih bisa kutemukan di kota rantau, bahkan lebih banyak pilihan dan lebih mudah didapatkan. Namun, tentu lidah tidak bisa dibohongi oleh rasa.
Dulu sewaktu diri ini merasa dunia tidak pernah jahat, aku selalu makan bakso langganan setiap hari Jumat, sepulang sekolah, bersama ibu. Di hari Minggu, sekitar jam sembilan pagi orang-orang di rumah baru tiba usai beribadah, mereka biasanya membawa daging babi untuk digoreng. Aku di ruang keluarga, biasanya bersama pamanku menikmati tahu goreng yang lebih dulu ibu dan tanteku sajikan sembari menunggu daging babi matang digoreng. Tahu itu aku dan pamanku potong kecil-kecil, lalu kami cocol dengan kecap dan cabai.
Beranjak dewasa, aku senang karena merasa bebas makan bakso di hari apa pun yang aku mau. Aku juga tahu bahwa kini aku tidak harus menunggu hari Minggu untuk bisa menikmati babi goreng. Namun, saat itu merupakan kali pertama aku merasakan sebuah kebebasan yang mengekang. Aku tidak mendapatkan apa-apa dari kebebasan yang kudapat selain perut yang terisi penuh. Aku pun sadar ternyata sebuah rasa hanya kenal satu kata dan tidak bisa berbohong.
Kala itu, saat kecil dan tak berdaya aku ingin sekali bisa memasukkan jagung bakar yang dijual di jembatan di dekat pasar itu ke dalam mulut lalu mengunyahnya. Namun orangtuaku enggan membelinya. Kalau ingatanku tidak menipu, mereka khawatir jika jagung-jagung itu tidak matang seutuhnya. Sampai akhirnya, entah kapan, aku akhirnya mampu mencicipi bagaimana sebuah rasa dari jagung bakar yang aku idamkan. Kini penjual jagung bakar di mana-mana, aku bisa kapan saja singgah lalu memesannya, tapi tidak kulakukan. Aku tidak penasaran lagi. Aku hanya mencarinya sebagai alternatif makanan lain ketika sedang lapar.
Dalam film Tabula Rasa, Gulai Kepala Ikan dan campuran-campuran bumbu masakan padang milik Mak merupakan sebuah pengingat untuk Hans kembali berjalan. Sebuah bahan bakar baru untuk Hans atau siapa saja di luar sana yang kadang lelah untuk menerima realita hingga sampir menyerah sampai-sampai melewatkan rasa nikmat rendang yang terus diaduk selama empat jam.
Usai menonton Tabula Rasa, aku sadar bahwa aku menutup telingaku ketika makanan berbicara denganku tentang rasa. Aku tidak mengindahkannya ketika rasa itu mengajakku untuk pelan-pelan menunggu waktu yang tepat.
Perutku jauh lebih ribut ketika kala itu sebuah rasa yang duduk di sebelahku mengingatkan supaya aku tidak hanya fokus pada sesuatu yang sedang kunikmati, tapi juga sesekali menoleh lalu melihat di mana dan dengan siapa aku berada ketika mensyukuri sebuah berkat.
Sekarang, aku paham bahwa rasa-rasa yang dulu sebenarnya tidak hilang. Ia tidak kemana-mana, ia hanya menunggu waktu yang tepat seperti di hari Jumat atau Pagi Minggu pukul sembilan.