Sebelum lebih jauh, tulisan ini bukan merupakan sebuah ulasan buku, tapi beberapa hal di dalamnya akan berisi poin-poin yang bersifat major spoiler dari buku Ready Player Two, karya Ernest Client. If you don’t mind, well.
Ribuan tahun, pandangan tentang hidup yang abadi tertulis dan tersirat di mana-mana : Ankh yang merupakan simbol kehidupan Mesir, pandangan teologi Kristen tentang jatuhnya Adam dan Hawa yang menjadi tanda lepasnya tubuh abadi, Hindu dengan jiwa abadi yang melakukan reinkarnasi. Bahkan Plato, Aquinas, dan masih banyak filsuf lainnya juga mempunyai pandangan dan argumen tentang hidup yang abadi.
Saintis, futuris, hingga filsuf mempunyai sudut pandangan berbeda dengan poin dan tujuan yang sama, yang di mana hal ini berarti sejauh apapun zaman berubah, keinginan manusia untuk hidup abadi bukanlah sebuah remeh-temeh yang hanya diangkat menjadi sebuah kisah dalam buku dan film-film sci-fi.
Menyelesaikan sebuah bacaan bukanlah sebuah akhir, setidaknya buatku. Buku-buku yang menyenangkan adalah buku-buku yang membuat kita malah semakin bertanya-tanya dan merasa tidak tahu apa-apa setelah menutup halaman terakhirnya. Poin tentang buku dan hidup abadi, keduanya ada di dalam kisah petualangan Wade Watts dalam Ready Player Two.
Merupakan buku kedua dari petualangan Wade, Samantha, Aech, dan Shoto dari Ready Player One, this book presenting a new way look — at least at the almost end — how’s life and everything works after all those things called technologies exist. Berangkat dari buku pertama yang mengangkat kisah kehidupan manusia di sebuah era distopia, di mana (hampir) satu-satunya penopang roda kehidupan dan ekonomi dipegang oleh sebuah perusahaan gim realitas virtual bernama OASIS. Dalam Ready Player Two, hal ini masih jadi konsep utama sebagai alur cerita, tapi kali ini pembaca dibawa satu level lebih tinggi untuk melihat seberapa keren sekaligus berbahayanya masa depan teknologi.
“Artificial intelligence will reach human levels by around 2029. Follow that out further to, say, 2045, and we will have multiplied the intelligence — the human biological machine intelligence of our civilization — a billion-fold.”
- Ray Kurzweil
Jauh sebelum lahirnya teknologi, aku mungkin akan kesusahan memahami konsep hidup abadi jika hal itu tidak berkaitan dengan fenomena spiritual dan konsep-konsep kepercayaan yang tidak bisa dibuktikan dan diproses oleh akal. Namun, sekarang siapa sangka kita bisa terhubung secara langsung dari jarak yang sangat jauh, menonton orang-orang bercinta terang-terangan dalam artian terang yang harafiah, mengabadikan momen, berbicara dengan mesin, you name it. Teknologi, merupakan sebuah kemajuan yang sangat signifikan untuk memulai banyak kemungkinan lain yang menembus batas kemustahilan. Bagi Z hingga boomers, teknologi yang ada saat ini tentu sudah sangat lumrah dan dapat diterima dengan mudah oleh otak, tapi coba perkenalkan ide ini kepada warga Salem tahun 1600-an.
Kupikir teknologi tidak akan bergerak lebih jauh lagi sebelum aku melihat ide-ide yang tertuang dalam seri Black Mirror musim ketiga episode 4 yang berjudul San Junipero — which is one of my favorite —, episode Black Mirror musim ke-empat episode 1 yang berjudul USS Callister, serial Upload dan ya, Ready Player Two. Kesamaan ide-idenya — SPOILER ALERT — adalah tentang bagaimana kita kumpulan homo sapiens yang sudah berhasil melewati fase sebagai pemburu pengumpul, mencapai titik baru dalam — entah apakah “mencurangi” merupakan kata yang tepat — kehidupan dengan cara mengunggah kesadaran ke dalam sebuah teknologi di mana kita akan online tidak secara fisik dan virtual, melainkan kesadaran.
Mengapa aku tertarik dengan konsep ini? Karena konsep hidup abadi seperti ini yang paling mendekati kemungkinan untuk dicapai. Sejauh yang kutahu, tubuh secara fisik lah yang membuat konsep ini sulit dilakukan, karena tentu saja sebagai manusia yang hidup di dalam sekumpulan tulang dan daging pasti akan menemui proses penuaan, penyakit, trauma, hingga kematian. Perubahan lingkungan juga merupakan faktor lainnya.
“The mind is the only thing about human beings that’s worth anything. Why does it have to be tied to a bag of skin, blood, hair, meat, bones and tubes? No wonder people can’t get anything done, stuck for life with a parasite that has to be stuffed with food and protected from weather and germs all the time. And the fool thing wears out anyway — no matter how much you stuff and protect it.”
— Kurt Vonnegut
Mengunggah kesadaran ke dalam sebuah jaringan merupakan sebuah langkah besar yang menarik. Selain tidak bertemu kematian secara fisik, jauh lebih dalam lagi akan banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi baik dari sisi sosial dan politik, pun interaksi antar manusia juga kelak bukan satu-satunya interaksi yang ada. Hukum berubah, ideologi-ideologi lama lahir kembali beriring dengan pola pandang baru dan semua punya “wadah” masing-masing, tidak ada lagi penyakit, tidak ada kerusakan lingkungan, semua akan punya properti masing-masing yang tanpa batas dalam setiap hitungan bit, juga tidak ada rasa lapar. Kini siapa saja bisa melakukan revolusi karena perutnya akan terus kenyang selamanya.
Selain tidak akan ada lagi perpisahan, aku yakin proses penyelidikan di luar tata surya dalam mencari tempat-tempat layak huni akan menjadi fokus utama. Karena untuk tetap abadi, ada hal yang harus dibayar. Kesadaran kita masih perlu ruang penyimpanan dan daya untuk tetap hidup dan tak terhapus. Pada akhirnya, mungkin inilah masa di mana semua manusia bersama-sama mempunyai satu tujuan dan cara survive yang sama.
Menjelajah ruang angkasa untuk mencari wadah-wadah baru supaya tetap dalam jaringan pasti merupakan jalan satu-satunya. Bumi akan ditinggalkan, matahari akan mati, gravitasi menghilang. Siapa kelak yang akan menggerakan perpindahan ini? Ya, jika era di mana memindahkan kesadaran dapat dilakukan dengan gampang, menciptakan kecerdasan buatan yang tidak bisa memberontak untuk tetap menjaga wadah-wadah kesadaran itu berada tentu bukanlah hal yang susah.
Benar kata Pramoedya: “Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Mungkin bedanya yang kita tulis kelak adalah lebih banyak sistem bilangan biner.
Tulisan ini sepertinya tepat kututup dengan sebuah kutipan dari buku Sapiens-nya Yuval Noah Harari : Yang harus kita anggap serius adalah gagasan bahwa tahap sejarah berikutnya akan mencakup bukan hanya transformasi teknologi dan organisasi, melainkan juga transformasi mendasar dalam hal kesadaran dan identitas manusia. Dan transformasi-transformasi ini bisa sedemikian mendasar sehingga akan membuat istilah “manusia” itu sendiri dipertanyakan. Karena kita mungkin tidak lama lagi akan bisa merekayasa hasrat kita juga, sehingga pertanyaan riil yang akan muncul bukan lagi “kita ingin menjadi apa?” melainkan “kita ingin menginginkan apa?”.