Bahas Bahasa

Mario
3 min readApr 8, 2020

--

Manusia tidak pernah takut mati. Mereka cuma takut masuk neraka, takut falling in love with people they can’t have, dan juga takut dengan kekuatan absah yang tidak bisa mereka kuasai.

Beberapa waktu lalu aku diperkenalkan oleh seorang kawan sebuah shonen manga berjudul ‘Dr. Stone’. Singkatnya aku langsung tertarik ketika mendengar sinopsi yang ia berikan. Bagaimana tidak, rasa penasaranlangsung muncul ketika tahu kalau sinopsisnya adalah tentang bumi yang mendadak “diserang” oleh seberkas cahaya hijau dan membuat semua umat manusia menjadi batu. 3700 tahun kemudian, si karakter utama, Shenku Ishigami, bangkit setelah ribuan tahun membatu. Di sebuah tempat yang masih sama tapi dengan rasa yang benar-benar berbeda, ia harus memulai kembali peradaban dari nol.

Berpakaian, membuat api, membangun tempat tinggal, hingga akhirnya mengembalikan satu per satu manusia yang masih membatu untuk membantunya mewujudkan peradaban baru pun dilakukan. Harus cermat, tentu. Ia tidak ingin membangkitkan orang-orang yang menurutnya berpotensi menggagalkan visi dan misinya. Ia tidak ingin hadir sosok yang lebih kuat, sosok yang tidak bisa ia kendalikan. Namun, tentu cerita akan cepat berakhir jika semua yang ia kehendaki berjalan dengan lancar. Di samping irasionalnya kisah-kisah di manga, tentu kita masih bisa menerima bahwa ketakukan dari sang protagonis adalah hal yang manusiawi.

Ketakutan Senku adalah ketakutan kita semua saat ini atas pandemi yang semakin menyebar luas. Kita tidak mau dikuasai oleh sesuatu yang tidak bisa kita kendalikan. Kita tidak mau kebebasan kita dijajah. Meski kebebasan yang kita punya pun adalah kebebasan untuk menjajah.

Ya, meski kita tahu tidak semua orang tampaknya takut. Dulu orang-orang takut Soeharto, pun tidak semua. Orang-orang juga takut RUU KUHP disahkan, itu juga tidak semua. Bahkan dulu orang-orang juga takut tentang kiamat tahun 2012 yang bersumber dari ramalan suku Maya. Hmm, sebentar, kalu kiamat sepertinya semua orang takut.

Ketakutan dan kewasapadaan manusia ini mengingatkanku pada sebuah teori linguistik relativitas yang bernama Hipotesis Sapir-Whorf. Hipotesis ini bilang kalau ada hubungan yang kuat anatara bahasa, budaya, dan pikiran seorang penutur.

Bahasa sangat berpengaruh bagi manusia. Bahasa menentukan corak masyarakat. Kreatif atau tidaknya seseorang, dipengaruhi oleh bahasa yang ia kuasai. Singkatnya, dapat disimpulkan bahwa pandangan manusia tentang dunia dibentuk oleh bahasa, sehingga karena bahasa yang berbeda maka pandangan masyarakat tentang dunia pun berbeda. Budaya, bahasa, dan cara berpikir manusia saling berhubungan.

Di era yang entah harus dideskripsikan dengan kosa kata apa dan dari budaya mana — terhadap orang-orang yang saat ini mempunyai privilise untuk diam di rumah tapi tetap dengan tenang beraktivitas seolah-olah dunia sedang sangat benar-benar baik dan damai seperti desa Mineral Town, kadang aku berpikir: bahasa dan budaya dari mana yang meraka anut?

Kita mungkin adalah orang yang paling berani karena dapat mengalahkan rasa takut. Namun, menjadi paling berani kadang bukanlah sesuatu yang bijaksana. Apalagi di saat seperti ini, ketika negara menganjurkanmu untuk tidak melakukan kontak fisik dengan sesama kaummu. Ketika hal yang bisa membunuh nyawamu pelan-pelan terlebih dahulu membunuh interaksi sosial hingga ekonomimu. Ketika rasa sepi adalah sebuah keriuhan yang baru.

--

--

No responses yet